Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Menurut Hudojo (1988:100) memang tidak ada dua individu yang persis sama, setiap individu adalah unik. Suharyanto (1996:96) menyatakan bahwa jika perbedaan individu kurang diperhatikan, maka banyak siswa akan mengalami kesulitan belajar dan kegagalan belajar.
Kenyataan di atas menuntut agar siswa dapat dilayani sesuai perkembangan individual masing-masing. Konsekuensinya adalah pembelajaran perlu melayani siswa secara individual untuk menghasilkan perkembangan yang sempurna pada setiap siswa. (Hudojo, 1988:101). Seperti pepatah, Lain ladang, lain ikannya. Lain orang, lain pula gaya belajarnya (Uno, 2008:180). Pepatah ini cocok untuk menggambarkan bahwa setiap orang mempunyai gaya belajar sendiri-sendiri dan tak dapat dipaksakan untuk menggunakan gaya yang seragam.
Setiap orang memiliki gaya belajar yang unik. Tidak ada suatu gaya belajar yang lebih baik atau lebih buruk daripada gaya belajar yang lain. Tidak ada individu yang berbakat atau tidak berbakat. Setiap individu secara potensial pasti berbakat—tetapi ia mewujud dengan cara yang berbeda-beda. Singkat kata, tidak ada individu yang bodoh (atau setiap individu adalah cerdas). Ada individu yang cerdas secara logika-matematika, namun ada juga individu yang cerdas di bidang kesenian. Pandangan-pandangan baru yang bertolak dari teori Howard Gardner mengenai intelligensi ini telah membangkitkan gerakan baru pembelajaran, antara lain dalam hal melayani keberbedaan gaya belajar pebelajar. Suatu cara pandang baru inilah yang mengakui ke-unik-an setiap individu manusia.
Gardner (1983) mengenalkan Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi sembilan kecerdasan. Yaitu, kecerdasan linguistik/verbal/bahasa, kecerdasan matematis logis, kecerdasan visual/ruang/spasial, kecerdasan musikal/ritmis, kecerdasan kinestetik jasmani, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Kemudian tahun 1999, Gardner menemukan jenis kecerdasan baru, kecerdasan kesembilan dalam teorinya, yang ia namakan kecerdasan eksistensial.
Menurut Gardner (1987) setiap orang berbeda karena memiliki kombinasi kecedasan yang berlainan. Lebih lanjut Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orang-orang yang memang ahli di dalam kemampuan logis-matematis dan bahasa. Apresiasi sekolah diberikan kepada mereka yang memiliki kombinasi kemampuan itu dengan memberi label: murid pandai, bintang pelajar, juara kelas dan ranking tinggi pada setiap pembagian buku raport. Sementara untuk orang-orang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain kurang mendapat perhatian. Jarang sekali sekolah yang memberikan penghargaan pada siswa yang memiliki kemampuan misalnya olah raga, kepemimpinan, pelukis dan lain-lain. Saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkanreinforcement di sekolahnya. Musfiroh (2008:38) dalam bukunya, menjelaskan bahwa esensi teori Multiple Intelligences menurut Gardner adalah menghargai keunikan setiap individu, berbagai variasi cara belajar, mewujudkan sejumlah model untuk menilai mereka, dan cara yang hampir tak terbatas untuk mengaktualisasikan diri di dunia ini.
***
Berikut akan dipaparkan contoh "kasus nyata” keunikan siswa dalam proses belajar, yang cerita ini saya kutip dari buku yang ditulis oleh Chatib (2009) dalam buku "Sekolahnya Manusia”. Kasus berikut merupakan contoh seorang anak yang belajar matematika dengan pendekatan kecerdasan spasial yang dimilikinya.
Latif adalah siswa kelas 2. Latif bermasalah dalam belajar. Masalah yang dia alami sangat kompleks karena kombinasi berbagai masalah. Pertama, dia tidak pernah masuk kelas. Oleh karena itu, banyak sekali materi yang tidak pernah ia ikuti. Kedua, Latif tidak pernah membawa buku dan alat tulis. Latif sama sekali tidak termotivasi untuk belajar, akibatnya dia tidak bisa mengenal angka dan penjumlahan.
Ternyata, keluarga menjadi latar belakang terbesar masalah Latif. Sang ibu telah lama bekerja di luar negeri, sementara ayahnya memiliki pekerjaan tidak tetap dan sering ke luar kota. Kondisi ini membuat sang ayah sama sekali tidak memberikan perhatian kepada anaknya, khususnya soal pendidikan. Latif tinggal bersama neneknya yang sama sekali tak peduli urusan sekolah sang cucu. Dapat disimpulkan, masalah Latif bersumber pada kurang perhatian dan kurang kasih sayang orangtuanya.
Namun, di balik masalah tersebut, tersimpan potensi yang luar biasa. Latif sangat suka menggambar dan mewarnai (kecerdasan spasial-visual). Guru matematika di kelas Latif punya ide untuk mengajarkan penjumlahan lewat pintu kecerdasan Latif. Guru tersebut memberikan kesempatan kepada Latif untuk belajar penjumlahan dengan cara melukis angka-angka penjumlahan pada kertas folio yang disambung berjejer di dinding kelas. Betapa antusiasnya Latif "menggambar” di dinding tersebut. Inilah sebuah proses gaya mengajar yang berhasil masuk dalam dunia siswa.
Sekarang, Latif termotivasi untuk sekolah dan sangat enjoy dengan pelajaran matematika. Hasilnya dia mampu menguasai materi penjumlahan yang dahulu dibencinya.
****
Belajar dari cerita "kasus” Latif di atas, maka menurut hemat saya, (misalkan) untuk belajar matematika, setiap siswa harus didekati melalui kecenderungan kecerdasan yang dimilikinya. Akibatnya, jika teori Multiple Intelligences ini benar-benar diterapkan dalam strategi pembelajaran, maka pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh guru merupakan pendekatan secara personal. Hal ini, tentunya akan membawa konsekuensi bahwa seorang guru harus "sabar” untuk bisa membuat bagaimana siswa dapat menemukan kegairahannya dalam belajar, dan pembelajaran tidak hanya ditargetkan untuk "menghabiskan” materi dalam kurikulum.
Dengan menerapkan strategi pembelajaran (matematika), maka guru harus mengetahui, bahwa akan ada beragam profil gaya belajar siswa, yaitu:
- Siswa yang belajar matematika dengan menggunakan kecerdasan Linguistik.
- Siswa yang belajar matematika dengan menggunakan kecerdasan Matematis.
- Siswa yang belajar matematika dengan menggunakan kecerdasan Visual-Spasial.
- Siswa yang belajar matematika dengan menggunakan kecerdasan Musikal.
- Siswa yang belajar matematika dengan menggunakan kecerdasan Kinestetis.
- Siswa yang belajar matematika dengan menggunakan kecerdasan Interpersonal.
- Siswa yang belajar matematika dengan menggunakan kecerdasan Intrapersonal.
- Siswa yang belajar matematika dengan menggunakan kecerdasan Naturalis.
- Siswa yang belajar matematika dengan menggunakan kecerdasan Eksistensial.
Nah, hemat penulis, jika sembilan profil gaya belajar siswa dalam belajar matematika di atas benar-benar dapat dirangkum (baca: didesain) oleh guru dalam pelaksanaan kegiatan proses pembelajaran (baca: Lesson Plan) dan benar-benar dilaksanakan, maka tidak akan ditemukan siswa yang benci terhadap matematika. Walhasil, siswa menyenangi belajar matematika, siswa menjadi enjoy dan tidak takut ketika waktunya pelajaran matematika.