"Mencintai adalah pekerjaan abadi yang tak pernah selesai, dan
cinta adalah obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka.
Cintalah yang mesti kamu rawat, Anakku, bukan dendam.”
Rewa terlahir dari keluarga kaya. Ayahnya, Daeng Sambang, pengusaha sukses berwatak keras. Ibunya, Naura Shabrina, perempuan jelita keturunan Makassar-Pakistan yang lembut lagi penurut. Bencana bermula ketika ibunya jatuh dari tangga dan sejak itu tak kuasa melayani berahi suaminya. Sepanjang waktu ayahnya membawa gadis-gadis muda ke rumah dan mencumbunya di mana saja. Anehnya, semua nama gadis itu berinisial "N”: Nia, Nadya, Nindya, Nayla, Nisrina, Nadira. Rewa menyaksikan pengkhianatan dan kesetiaan berjalan beriringan, hingga akhirnya ibunya meninggal dunia. Dari sanalah dendam kepada sang ayah bermula.
Tetapi pada suatu hari, ketika Rewa melihat tubuh molek "ibu” barunya tergolek di ranjang, dia seakan dirasuki roh ayahnya. Gairahnya bangkit seketika. Secara instingtif dia langsung menggaulinya, lalu menjadi kecanduan sesudahnya. Hampir semua "ibunya” pernah dia kawini. Rewa terjebak dalam permainan berbahaya. Dia tersekap di antara nafsu titisan ayahnya dan cinta kasih ibunya yang penuh kesabaran dan permaafan.
Inilah sebuah buku yang membabar makna dan hakikat cinta, kesetiaan, kerinduan, kebencian, juga angkara murka. Sebuah senarai kisah yang digali dari khazanah tradisi, diramu dalam narasi-narasi tak terperi, seakan hendak menyadarkan kita betapa dekatnya cinta dan benci, tak henti-henti bertarung di ruang yang sangat sempit bernama hati.
TESTIMONI-TESTIMONI:
"Mengawini Ibu ditulis dalam ketegangan antara mengajak pembaca kembali ke hulu atau hanyut ke muara ‘sungai kebudayaan’ di mana penulisnya lahir. Tapi tak ada kisah yang betul-betul sampai di hulu atau di hilir, Khrisna seperti sengaja membawa kita hanya seolah-olah sampai—sebab di antara keduanya ternyata ada begitu banyak cabang. Di cabang-cabang kecil sungailah kisah-kisah itu berenang—mengajak pembaca membayangkan hulu dan hilir.”
—M Aan Mansyur, penyair
"Sejauh ini, banyak orang mencurigai kearifan lokal sebagai ‘benda’—yang bisa ditakar dalam-dangkalnya, ditimbang berat-ringannya—namun, Khrisna Pabichara dalam buku ini hendak memaklumatkan bahwa lokalitas itu adalah sebuah ‘peristiwa’ yang tiada habis dalam sekali baca, yang selalu ditunda tafsir tunggalnya.”
—Damhuri Muhammad, cerpenis dan esais
"Lewat Mengawini Ibu, meski sarat dengan nuansa kultur Bugis-Makassar, tanpa sadar kita berpetualang melintasi panorama persentuhan antar-budaya. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa pemanfaatan local genius mampu melahirkan kisah dengan gagasan yang bersifat universal. Tak banyak penutur kisah—Khrisna Pabichara salah seorang di antaranya—yang mampu memanfaatkan anasir kultural dan unsur etnika sebagai kekuatan cerita, baik sebagai pembingkai maupun sebagai inti kisah.”
—Ilham Anwar, artis film
"Khrisna tak pernah ingin jauh dari pembaca, oleh karenanya kita selalu diajak terlibat dalam setiap kisahnya. Sebagai ‘pendongeng modern’, ia tak semata piawai menuliskan gaya lisan secara benar, justru lebih terasa gizi ceritanya ketika dengan sepenuh kesadaran mengeksplorasi kearifan lokal ranah Bugis-Makassar.”
—Kurnia Effendi, cerpenis dan pencinta sastra
"Membaca Khrisna Pabicara seperti mengorek bocoran tentang tanah kelahirannya, Bugis-Makassar. Ada kerumitan di tengah keindahan, juga keberanian mengemukakan sesuatu yang menantang. Mengawini Ibu bagi saya adalah sebuah ketaklaziman, kelancangan, dan keanehan. Kita perlu membacanya agar memahami dunia dengan segala rupanya, dan itu tentu saja mendewasakan.”
—Hanna Fransisca, penyair dan prosais
"Tulisan Khrisna mengetengahkan tema keseharian dalam masyarakat Bugis-Makassar yang patriarkis: poligami, kawin paksa, dan balas dendam. Perempuan selalu jadi korban dalam sistem ini. Selain itu—yang tambah menyenangkan—ia juga mengurai suasana batin bissu yang transgender, pemuka adat yang dulu berperan penting dalam istana, bersama raja dan ulama.”
—Linda Christanty, penulis
"Buku yang penuh dengan khazanah tradisi ini menemani kita memasuki sebuah dunia yang berbeda, yang penuh intrik, kebencian, romansa, dan cinta. Karya mengesankan yang akan mempesona siapa saja yang beruntung membacanya.”
—Bamby Cahyadi, cerpenis
"Khrisna Pabichara adalah pialang kisah yang berhasil menyandingkan antara kepiawaian bertutur dengan kemampuan menyuntikkan nilai-nilai. Senarai menggetarkan tentang hakikat kebenaran dan kemanusiaan. Mendebarkan!”
—Agus Sijaya Dasrum, pekerja seni
"Membaca kisah anggitan Khrisna Pabichara seperti menemukan titik-titik puisi kehidupan di dalamnya. Berirama, turun, naik, dan terkadang meronta-ronta dengan keliaran yang memikat. Mengawini Ibu menyuguhkan ribuan amunisi gagasan yang dilontarkan—dan menghantam—dengan kekuatan bahasa yang padat. Bukan hanya cerita yang disandang, puisi pun didendang. Selamat!”
—Fahri Azisa, cerpenis
"Membaca buku ini seperti disuguhi peristiwa ulang-alik antara hitam, putih dan sesekali melebar ke abu-abu. Ke sebuah tempat, yang sering disebut sebagai ‘tempat kelahiran’. Tempat para ayah dan ibu memberi warna kepada anak-anaknya.”
—Mardi Luhung, cerpenis dan penyair
"Kisah memikat tentang pertengkaran nafsu dan cinta yang pasti akan menyeret pembaca ke dalam kemewahan dan kerapuhan tradisi, cinta yang tak terkalahkan dan yang terkalahkan, persekongkolan dan kesendirian, pengkhianatan dan kesetiaan, serta persinggungan keras antara budaya dan modernitas. Membacanya, seperti membangun kembali istana harapan, yakni "kehidupan yang lebih manusiawi”. Sebuah senarai yang memikat!”
—Meilani Goenawan, penyuka sastra
—————————————-
Pengarang: Khrisna Pabichara
Penyunting: Salahuddien Gz
Pemindai Aksara: Ahmad Syarifuddin
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Penerbit: Kayla Pustaka (Jln. Ampera Raya Gg. Kancil 15, Ragunan Jaksel. 021-7884 7301)
Harga: Rp 40.000,- (170 Hlm. Bookpaper)
ISBN: 978-979-17997-7-5