Bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa rasanya tidak ada yang membantah. Sejarah telah membuktikan negara yang memperhatikan kemajuan pendidikan akan menjadi negara maju. Konon setelah kalah dalam perang dunia kedua, yang ditanyakan kaisar jepang bukanlah berapa tentara atau berapa senjata yang tersisa, tetapi berapa guru yang tersisa. Pertanyaan itu seakan mengatakan "untuk membangun kembali pendidikan”. Dan ternyata benar. Hanya 50 tahun berikutnya, yaitu tahun pada pertengahan tahun 1990-an Jepang telah menjelma sebagai negara maju dan disegani di dunia. Negara yang mengalahkannya pada perang dunia kedua tahun 1945, terpaksa mengakui, seperti Amerika Serikat terpaksa mengakui itu. Dari sudut pandang teoritik sumbangan pendidikan terhadap kemajuan bangsa juga dapat dipertanggung jawabkan. Semakin baik pendidikan suatu bangsa akan semakin baik pula kemampuan dan memanfaatkan sumber daya alam dan memanfaatkan kesempatan yang ada, sehingga akan semakin produktif dalam bekerja. Dalam aspek kultural semakin baik pendidikan suatu bangsa akan semakin cerdas dalam menapis nilai-nilai budaya, sehingga akan memilih mana yang lebih rasional dan sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman. Memang dalam study empirik masih diperdebatkan bukti-bukti yang kontribusi pendidikan terhadap perkembangan ekonomi suatu negara. Namun demikian Theodore Schlutz (dalam Bediono, 1979), membuktikan kontribusi tersebut, melalui apa yang disebut teori residu. Ketika kemajuan teknologi semakin cepat dan kemudian memicu perkembangan era global maka peran pendidikan terasa sangat penting. Kemajuan teknologi telah menyentuh seluruh aspek kehidupan, dari perusahaan yang canggih seperti industri komputer sampai pertanian tradisional di pedesaan. Mulai dari perkantoran di kota metropolis sampai dirumah sederhana petani di pedesan. Setiap saat kita dihadapkan softwhare (perangkat lunak) baru yang memudahkan orang bekerja. Era kerja tanpa kertas (paperless) Flashdisk dan sebagainya. Teknologi pertanian sudah menjangkau sampai pedesaan, sehingga banih unggul hasil riset teknologi tinggi dan riset pertanian lainnya telah dimanfaatkan oleh petani tradisional di pedesaan. Oleh karena itu, kemampuan memanfaatkan teknologi telah menjadi tuntutan bagi setiap orang. Oleh karena itu yang disebut bebas buta aksara telah menjadi bebas buta teknologi (Tecnology Litercy ).
FENOMENA PARADOKS DI ERA GLOBAL Dengan kemajuan teknologi komunikasi, kini orang dapat berkomunikasi dengan mudah walaupun berada di dua Benua yang jauh jarakanya. Telepon internasional sudah menjadi sarana yang dapat dijangkau dimana-mana. Internet dan Vip kini telah menjadi sarana komunikasi yang jauh lebih murah. Dengan telepon seluler orang dapat menenteng telpon kemanapun pergi dan dapat berkomunikasi dari manapun. Dengan teknologi transportasi, orang jadi mudah pergi dari satu kota ke kota lain. Kini orang dapat sarapan pagi di Jakarta, makan siang di Dubai timur tengah, dan makan malam di Londod inggris. Orang dapat sarapan di New York, makan siang di Jepang dan makan malam di Jakarta. Ketika membeli baju atau sovenir di Eropa atau Amerika, sebagian besar produksi Jepang dan China. Ketika membeli oleh-oleh dari pergi haji, ternyata yang kita beli produksi China, Turki dan Indonesia. Sepatu, baju dan mie instan buatan Indonesia kini sudah menjangkau Eropa Barat dan Amerika. Sebaliknya tanpa kita sadari kita telah membeli buah apel, anggur dan jeruk produksi China, Australia dan Amerika Serikat. Bahkan Thomas Friedman dalam bukunya the World Is Flot (2005) dengan bagus orang dapat menggambarkan orang dapat bekerja dari India untuk perusahaan di Amerika Serikat. Call center yang menjawab pertanyaan ke kantor di Amerika ternyata berlokasi di India. Dokter kordiolagi Indian tinggal di India setiap hari mendiagnosa foto Rontgen orang Amerika Serikat. Jadi tanpa kita sadari era globalisasi telah datang dan kita telah berada di dalamnya, wlaupun masih ada tatanan diskusi masih menentangnya. Secara logika tentu dengan mudah dipahami bahwa untuk menghadapi era global yang dipicu oleh perkembangan teknologi tersebut di perlukan bekal pengetahuan yang cukup dan demikian pendidikan semakin penting. Untuk mampu memanfaatkan teknologi pertanian dengan baik, untuk mampu memanfaatkan teknologi informasi dengan baik juga diperlukan pengetahuan yang memadai. Pendek kata, agar dapat memanfaatkan perkembangan teknologi, maka pendidikan semakin penting. Namun pertanyaan yang muncul adalah pendidikan seperti apa agar anak-anak kita mampu menjadi bagian dari era global itu dan bahkan memegang peran signifikan dalam era tersebut. Pertanyan ini sangat penting, karena ditengah keyakinan bahwa pendidikan semakin penting itu, justru muncul sebuah paradoks. Jika cermati iklan mencari calon di koran-koran, hampir semua menyaratkan pengalaman kerja bagi pelamarnya. Seakan-akan orang yang tidak mempunyai pengalaman kerja tidak cukup, walaupun telah memiliki pendidikan terbaik. pertanyaannya, bagaimana dengan lulusan yang belum memiliki kerja? Apakah harus bekerja seadanya atau serabutan dulu? Jika yang di perlukan pengalaman kerja yang relevan, artinya yang ingin kerja di keuangan harus memiliki pengalaman kerja di sektor keuangan. Nah bagaimana cara sarajana Ekonomi untuk masuk sektor itu, jika untuk masuk di perlukan pengalaman kerja? Apakah dengan bekal pendidikan S 1/ Diploma Ekonomi Akuntansi masih belum cukup untuk memulai bekerja di sektor itu.? Jika lulusan merasa susah untuk memasuki pekerjaan, ternyata pihak perusahaan juga merasa susah untuk memperoleh karyawan yang memenuhi persyaratan yang di perlukan ketika sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIAS) memerlukan tiga orang guru baru memasang iklan di Jawa pos. mendapat pelamar lebih dari 270 orang lulusan S-1 bahkan beberapa lulusan S-2. Setelah melalui proses seleksi ternyata hanya dua yang memenuhi syarat, itulah yang 1 orang dengan sekor yang pas-pasan. Kejadian serupa tampaknmya sering di hadapi oleh instansi / perusahaan yang mencari karyawan baru. Data Susenas 2002 juga menunjukkan suatu paradoks. Semakin tinggi pendidikan justru semakin tinggi presentase yang bekerja sebagai karyawan. Memang ada yang mengatakan semakin tinggi pendidikan semakin besar peluang bekerja disektor formal sebagai karyawan, tetapi data itu juga dapat di maknai, semakin tinggi ketergantungan pada pihak lain dan semakin rendah kemampuan atau lebih tepat keberanian untuk berwira usaha. Pada hal, untuk memajukan negara ini diperlukan wirausahawan dan sudah tahun 1990 awal diberikan mata kuliah kewirausahaan di pendidikan menengah dan tinggi. Bahkan banyak perguruan tinggi yang mendirikan pusat kewirausahaan atau inkubator kewirausahaan. Paradoks lain yang terjadi adalah antara prestasi individu dan rata-rata. Sejak beberapa tahun lalu siswa siswi kita sering menjadi juara dalam berbagai olimpiade, baik level nasional, regional maupun internasional. Kita juga punya orang-orang yang berprestasi luar biasa di dunia internasional, sebut saja namanya BJ. Habibi, Quraish Shihab, Nur Kholis Majid, Sujatmoko. Namun kita disuguhi bahwa data rata-rata dalam TIMMS dan PISA sangat rendah. Oleh karena itu ada yang bependapat beberapa orang itu berprestasi tinggi didunia internasional, kemampuan dasarnya dan atau mendapat pelatihan / pendidikan khusus dan bukan pendidikan secara umum yang diikuti seperti halnya anak-anak pada umumnya. Kita juga sering mendengar adanya keraguan terhadap nilai UAN karena banyaknya kecurangan pelaksanaannya. Kita juga sering mendengar adanya katrol mengatrol dalam kenaikan kelas. Seakan-akan nilai UAN dan raport tidak menunjukkan prestasi yang sebenarnya. Jika demikian masyarakat mengeluh untuk apa anak harus sekolah. Jika kenyataannya demikian (Samani, 2007). Kita juga disuguhi ketidak puasan berjenjang. Kalangan dunia kerja rendahnya kompetensi lulusan sarjana / diploma dan SLTA. Kalangan Perguruan tinggi mengeluhkan rendahnya bekal lulusan SLTA yang masuk ke perguruan tinggi. Kalangan SLTA mengeluhkan rendahnya bekal SLTP yang masuk ke SLTA. Kalangan SLTP mengeluhkan rendahnya bekal SD yang akan masuk ke SLTP. Kalangan pendidikan mengeluhkan rendahnya kepedulian orang tua dalam membimbing putranya belajar di rumah, sebaliknya orang tua mengeluhkan komitment pihak sekolah dalam pendidikan anak-anaknya. Sekolah mengeluhkan sistem pendidikan yang di terapkan pemerintah, sementara sekolah mengeluhkan rendahnya komitment sekolah untuk menjalankan sistem itu dengan baik.
REORIENTASI PENDIDIKAN Kemajuan Iptek yang demikian cepat, era global yang sudah menjadi keniscayaan dan fenome paradoks di atas perlu kita cermati dan renungkan. Kita perlu memikirkan pendidikan yang seperti apa yang cocok untuk menghadipinya. Kita perlu melakukan reorientasi agar kompetibel dengan kemajuan iptekes. Charles Handy (dalam Gibson. 1997) mengkritik pendidikan kita yang mirip kue donat yang salah asumsi. Menurut Handy, pendidikan saat ini sibuk mengerjakan dan mengembangkan hal-hal yang bersifat periperal, pinggiran yang tidak penting dan melupakan yang utama. Oleh karena itu pendidikan kita saat ini mirip kue donat yang justru bolong tengahnya (yang penting) dan yang isi malah pinggirnya yang periperal. Mengapa demikian? Menurut Hady, karena pendidikan saat ini didasarkan oleh salah asumsi, yang semua problema di dunia sudah diketahui dan guru sudah mengetahui problema itu, beserta jawabannya. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan tugas pokok guru menjelaskan problema itu beserta jawabannya dan dengan demikian siswa sudah terdidik. Pada hal problema di dunia di masa yang akan datang belum terjadi sehinga mustahil pada guru mengetahuinya. Kritik itu mirip syair Kalil Gibran bahwa anak itu adalah anak kehidupan. Orang di ibaratkan sebagai busur yang lepas dari panah, tetapi tidak dapat "mendikte” kemana anak panah itu akan menuju. Orang tua dapat memberikan kasih sayang, tetapi tidak dapat memberikan pikirannya kepada anak-anaknya. Orang tua tidak mengetahui dunia yang akan di hadapi anaknya, walupun dalam mimpi. Kritik lain yang perlu mendapat perhatian adalah sajak seonggok jagungnya WS Rendra. Dalam sajak itu Rendra seakan mengatakan bahwa pendidikan saat itu (1970-an) dan mungkin juga saat ini tidak cocok dengan kebutuhan kehidupan. Pendidikan dikritik oleh Rendra seakan mencerabut anak-anak dari dunia nyata, sehingga menjadi asing dan gagap ketika menghadapi kenyataan kehidupan. Bahkan Robert Kiyosaki (2002) rich dad, poor dad mengajukan ungkapan yang sangat provokatif.” If you want tobe rich and happy, don’t gotoschool”. Tentu kita tidak dapat memaknai ungkapan koyosaki secara mentah-mentah, tetapi yang dapat kita petik adalah sekolah diragukan kemampuannya untuk menyiapkan anak didik menggapai kekayaan dan kebahagiaan. Kemana orientasi pendidikan harus di arahkan? Itulah pertanyaan yang mendasar yang harus di diskusikan dan di cari jawabannya secara baik. Untuk itu perlu kembali bahwa secara filsafati pendidikan adalah usaha untuk membantu anak didik guna menghadapi masa depannya. Jika kita yakin bahwa Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah ( Qs 51 : 56 ) maka pendidikan tentunya diarahkan agar peserta didik lebih mampu dalam beribadah. Tentu saja beribadah dalam pengetian yang luas, yag terkait hubungan dengan Sang Pencipta dengan manusia maupun dengan yang lain. Hal lain yang harus juga memperoleh perhatian adalah bahwa pendidikan adalah proses panjang yang tidak dapat dikembalikan (irreversible) . Jika tahun 2008 kita membahas konsep pendidikan dan akan diterapkan mulai tahun 2009 di SD, maka peserta angkatan pertama baru akan lulus SMA tahun 2001. Keadaan yang akan dihadapai anak-anak itu adalah keadaan tahun 2021 yang mungkin kita sangat sulit untuk membayangkan. Jika sulit membayangkan bagaimana kita dapat membekali anak didik kearah sana. Kalil Gibran menggunakan istilah dengan rumah hari esok yang tidak dapat kita kunjingi walaupun dalam mimpi. Oleh karena itu dalam pemikiran reorientasi pendidikan kita perlu kembali keprinsip dasar bahwa perubahan akan terus berlangsung dengan cepat. Oleh karena itu anak-anak harus dipersiapkan untuk menghadapi perubahan itu, belajar dengan cepat dan bahkan ikut mengarahkan perubahan itu. Dengan perubahan yang demikian cepat, apa yang kita pelajari hari ini sering kali sudah berubah dan kadaluarsa saat kita lulus nanti. Dua puluh tahun lalu orang masih belajar mengetik dengan mesin ketik manual atau elektrik, kini keduanya sudah tidak lagi digunakan, karena di gantikan dengan komputer. Beberapa tahun lalu anak-anak masih menghitung data-data dengan menerapkan rumus statistic, kini dengan mudah diolah dengan softwhare, sehingga tidak perlu lagi menghitung. Hal serupa juga terjadi pada bidang teknologi. Beberapa tahun lalu kita masih berkutat dengan indeks buku dan daftar jurnal untuk mencari informasi yang terkait dengan istilah atau konsep tertentu. Saat ini dengan bantuan mesin pencari (serching engine) Google, informasi itu dengan cepat diperoleh dan juga lebih banyak sumbernya. Oleh karena itu, informasi sekarang dapat lebih mudah diperoleh yang diperlukan adalah kemauan dan kemampuan mencari itu dan kemudian mengolah serta menerapkannya. Kemampuan ini sering disebut dengan kecakapan berfikir (thinking skill). Di masa depan kerja sama akan semakin penting, karena semua pekerjaan akan saling terkait. Oleh karena itu kemampuan komunikasi dan kerja sama akan semakin penting. Kemampuan ini sering disebut dengan kecakapan social (social skill) tentu saja kemampuan berkomunikasi dengan berbagai bangsa dan etnis, mengingat era global yang sudah terjadi. Dengan demikian kemampuan bahasa asing, kususnya bahasa inggris yang umum digunakan dalam pergaulan internasional menjadi semakin penting. Dalam setiap kerja sama tim tentu diperoleh seorang sebagai pemimpin, baik itu pemimpin formal maupun informal. Oleh karena kemampuan menjadi pemimpin dan tentu sekaligus menjadi anggota tim sangat diperlukan. Diatas semua itu, akhlaq akan menjadi roh segala kemampuan lainnya. Artinya ahklaq mulia harus di tumbuhkan dalam pendidikan sebagai ruh kemampuan yang lain. Berkomunikasi, bekerja sama, mencari mengolah menerapkan informasi haruslah dilandasi akhlaq mulia tadi. Ketiga aspek itulah (Akhlaq, thinking skill cocial skill) sering disebut dengan life skill. Bagaimana life skill dengan mata pelajaran? Disini kita harus hati-hati. Kita tidak mungkin mengajarkan kemampuan berfikir, belajar cepat dan akhlaq tanpa wahana (sasuatu yang dipelajari). Kita juga tidak perlu memunculkan menjadi mata pelajaran baru. Yang perlu kita lakukan adalah mengubah orientasi belajar. Jika selama ini orientasinya menguasai isi mata pelajaran diubah untuk mengembangkan tiga aspek tersebut. Anak tetap belajar matematika, tetapi orientasinya dikembangkan untuk mengembangkan akhlaq, kecakapan berfikir dan kecakapan sosial. Dalam konteks ini matematika berperan sebagai wahana belajar.