Kata orang bijak, kerendahan hati adalah prinsip dasar orang beriman kepada Yang Maha Kuasa Sang Pencipta alam semesta. Dari kerendahan hati itulah munculnya ketulusan dan pengakuan diri, bahwa manusia hanyalah seonggok daging tak berdaya atau debu halus di hadapan Sang Khalik.
Sementara kesombongan adalah upaya penyangkalan diri manusia atas ketidakberdayaan raga dan spiritual di hadapan Yang Ilahi. Kesombongan menjadi semacam kompensasi psikologis untuk menutupi ketidakmampuan diri, yang kadang tersimpan dalam dunia alam bawah sadar. Kesombongan diri seseorang muncul, biasanya bertujuan agar diakui eksistensinya. Terutama di lingkungan sosialnya. Kesombongan dan keangkuhan merupakan saudara kembar.
Seorang psikolog terkenal asal Austria Alfred Adler (1870-1937) mengatakan, bahwa kesombongan itu pada dasarnya merupakan sikap mengutamakan diri sendiri. Adler menyebutnya sebagai self centered. Semuanya berpusat pada diri sendiri. Kalangan orang beriman alim ulama memposisikan egoisme sebagai awal dari dosa. Egosentrisme menjadi akar dari dosa. Manusia terjerumus ke dalam dunia hitam kelam karena terlalu mengagungkan ke-aku-annya. Aku merasa paling benar, paling bersih, paling hebat, paling suci, paling berkuasa, dan berbagai predikat superlatif lainnya. Peperangan, kerusuhan, kriminalitas, aniaya, dan kesengsaraan acapkali bermula dari sana.
Kerendahan hati dan kesombongan berjalan seiring dalam dunia yang sama, meski berbeda kharakter dan motivasi dasarnya. Tapi kadang, kesombongan bersembunyi di balik ‘kerendahan hati’ sehingga menjadi seolah-olah rendah hati. Padahal jauh di lubuk hati, ingin dipuji dan diakui ke-ego-annya. Sejatinya, kerendahan hati akan terus bertahan. Sementara kesombongan akan terkuak bersama perjalanan sang waktu.
Apa itu kerendahan hati dan mengapa manusia harus rendah hati? Mengapa orang tak boleh sombong?
Seorang guru kebijaksanaan yang juga seorang sufi dari timur menggambarkan kerendahan hati itu dalam simbol anak kecil. Anak adalah lambang ketulusan hati, ketidakberdayaan, dan kejujuran. Tingkat ketulusan, kepolosan anak kecil dan kejujurannya tak bisa disangkal lagi. Begitu tulus, jujur, dan bersihnya pribadi anak-anak, hingga para cerdik pandai menyebut anak-anak bagai tabularasa. Suatu lembar kertas putih bersih yang apa pun bisa ditorehkan di sana. Menurut sang guru, hanya manusia yang memiliki level kesucian, ketulusan, kepasrahan, dan kejujuran seperti anak kecil itulah yang pantas berhubungan dekat dan berada dalam pangkuan Sang Khalik.
Ketidakberdayaan anak kecil, kata sang guru, adalah lambang ketidakmampuan manusiawi yang akan malahirkan kepasrahan diri secara total tanpa syarat kepada Sang Pencipta. "Lihatlah, betapa anak kecil itu hidupnya sangat bergantung sepenuhnya pada orangtuanya, ibu dan ayahnya. Begitu pula seharusnya manusia di hadapan Sang Pencipta,” kata sang guru pada suatu kesempatan.
Menurut sang guru kebijaksanaan yang juga sufi itu, sebenarnya tak ada dasar dan alasan apa pun bagi manusia untuk menyombongkan diri. Fakta ilmiah menyatakan bahwa manusia adalah bagian kecil dari makhluk hidup yang ada di atas bumi. Hidup manusia berdampingan dengan makhluk hidup lainnya dan saling bergantung. Manusia tak mungkin hidup sendiri. Ketergantungan manusia sangat tinggi pada kehidupan lain di sekitarnya. Bumi tempat manusia hidup pun, jika dibandingkan dengan planet-planet lain dalam susunan tata surya, hanyalah bagian kecil dari semesta raya. "Jika bumi saja hanyalah bagian kecil atau bahkan hanya merupakan debu kosmis di alam semesta raya yang mahaluas, lalu bagaimana dengan manusia? Nah, sekarang bayangkanlah bagaimana agungnya Sang Pencipta alam semesta itu. Masihkah manusia bisa membusungkan dada tentang dirinya di hadapan Sang Pencipta?” kata sang guru.
Setiap saat manusia dalam berbagai kepercayaan dan keyakinannya yang amat beragam diberikan kesempatan untuk berintrospeksi, melalui bermacam-macam peristiwa dan acara keagamaan. Tujuannya refleksi diri ke dalam batin masing-masing. Masih pantaskah menyombongkan diri di hadapan orang lain dan terlebih-lebih di hadapan Yang Maha Kuasa? Mungkin ada baiknya, mulai detik ini kita mulai meneliti diri, apakah kita sudah rendah hati dan tidak sombong? Selamat Idulfitri. Mohon maaf lahir dan batin.